Senin, 11 Juli 2011

Beck Weathers, Pria yang Ditinggalkan Mati

Weathers berusi empat puluh sembilan tahun ketika mendaki Everest. Ketika itu, ia sudah sepuluh tahun menjadi pendaki gunung. Dan ia kecanduan.

Weathers selalu menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pendakian berikutnya. Sebelum Everest, ia telah mendaki enam dari tujuh puncak gunung tertinggi di berbagai benua. Dan untuk setiap pendakian ia menjalani latihan yang sungguh berat.

Untuk pendakian Everest tersebut, Weathers mendaftarkan diri dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Roob Hall dari New Zealand. Sebelum tim tersebut sampai di perkemahan di puncak tersebut (pada ketinggian dua puluh enam ribu kaki), Weathers baik-baik saja, terlepas dari kondisi yang sulit –- luar biasa dingin dan sulit bernafas. Namun ketika ia mendaki puncaknya pada tanggal 10 Mei, Weathers sadar bahwa ia telah menjalani pembedahan mata. Semakin tinggi ia mendaki, lensa matanya semakindatar, sehingga ia tak dapat melihat.

Ketika itu, keputusan paling bijaksaa adalah untuk menunggu di tempatnya, lalu bergabung dengan yang lain sementara mereka turun kembali. Namun kekecewaan Weathers itu segera diperparah oleh kondisi cuaca yang mengerikan. Gunung tersebut dilanda hujan es, sehingga suhunya turun hingga lima puluh derajat di bawah nol dan angin bertiup dengan kecepatan hingga tujuh puluh mil per jam. Badai tersebut membuat semua orang mencari keselamatan masing-masing. Ketika hal itu terjadi, Weathers ditinggalkan sendirian di gunung. Berjam-jam berlalu, dan ia pun mulai memasuki koma akibat kedingingan.

Sesama pendakit mencari Weathers selama berjam-jam. Dan pagi-pagi sekali pada tanggal 11 Mei, mereka menemukannya; ia tertutup es dan sudah hampir tidak bernafas. Mereka tahu ia akan segera mati, maka mereka meninggalkannya di tempatnya, kembali ke perkemahan, dan menghubungi isterinya lewat radio bahwa ia telah meninggal.

Tak pernah ada orang yang siuman dari koma akibat kedinginan dan masih hidup –-kecuali Beck Weathers. Entah bagaimana, Weathers pulih, bangkit, dan kembali ke perkemahan. Jaketnya terbuka, wajahnya hitam dan sulit dikenali karena kedinginan, dan lengan kanannya seputih marmer dan membeku.

Bahkan setelah mukjizat kembalinya Weathers ke perkemahanpun, tak seorangpun menyangka ia akan selamat. Namun ia tetap hidup. Kembali di rumahnya di Dallas, ia segera dirawat. Ia menjalani sepuluh pembedahan; mereka mengamputasi jari-jari kirinya, mengamputasi lengan kanannya di bawah siku, dan merekonstruksikan kembali hidungnya dengan menggunakan bagian-bagian tubuhnya yang lain.

Melalui semuanya itu, Weathers mengalami proses belajar yang radikal. Ia percaya bahwa ia menukarkan tangannya dengan sesuatu yang lebih berharga – pelajaran tentang dirinya, nilai-nilainya, dan hidupnya.

Sikap Beck Weathers mencerminkan lebih dari sekedar rasa syukur karena selamat dari tragedi maut itu. Ia memperlihatkan sikap dapat diajar yang memungkinkannya mengubah hidupnya demi kebaikan. Ia telah mengubah kegagalan menjadi batu loncatan dengan menjadikan kesusahan sahabat terbaiknya.

sumber: Buku Failling Forward karya John C. Maxwell

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Free Samples By Mail